Kehidupan
 di Ibukota memang lengkap. Sarana pendidikan, olahraga, sampai hiburan,
 lengkap tersaji. Jika Moammar Emka, menulis dalam Jakarta Under Covertentang kehidupan malam Jakarta beserta komunitas penghuninya yang menjijikkan, maka akulah salah satu anggota komunitas itu.
Tante Girang
Awal dari petualanganku di dunia gelap ibukota berawal saat aku meninggalkan kalimantan dan pindah ke Jakarta di pertengahan tahun 1995. Ayahku yang seorang pejabat teras pemerintah daerah kala itu mendukung niatku yang ingin menikmati pendidikan lebih layak di Jakarta. Biaya hidup dan pendidikanku, tempat tingal yang mewah, Mercy A-Class, semuanya dipenuhi oleh ayahku dengan harapan kelak aku akan menjadi putra daerah yang sukses.
Awal dari petualanganku di dunia gelap ibukota berawal saat aku meninggalkan kalimantan dan pindah ke Jakarta di pertengahan tahun 1995. Ayahku yang seorang pejabat teras pemerintah daerah kala itu mendukung niatku yang ingin menikmati pendidikan lebih layak di Jakarta. Biaya hidup dan pendidikanku, tempat tingal yang mewah, Mercy A-Class, semuanya dipenuhi oleh ayahku dengan harapan kelak aku akan menjadi putra daerah yang sukses.
Setelah
 tiba di Jawa, aku sengaja tidak mengikuti UMPTN untuk menghindari masuk
 Perguruan Tinggi Negeri. Keinginan untuk menikmati glamornya kehidupan 
remaja ibukota sepenuhnya, telah mendorongku untuk masuk ke sebuah 
universitas swasta ternama di Jakarta. Dan benar saja, dengan dukungan 
tampang dan harta yang lumayan, dalam waktu singkat aku bisa menikmati 
kehidupan glamor Jakarta. Wanita cantik dan seksi, tante girang
 tinggal aku pilih. Klub-klub malam, diskotik, pub, caf?-caf? elegan di 
Jakarta menjadi rumah singgahku menghabiskan malam. Jika di Jakarta ada 
1000 tempat mesum yang elegan dan bukan ecek-ecek, maka aku tahu 999 
nya.
 
Pemuas Tante Girang
Setelah lama berpetualang di dunia gelap, aku dan teman-teman tertantang untuk menikmati sisi lain dunia itu yang katanya bukan hanya nikmat, tapi juga membawa keuntungan yang lumayan. Pilihanku tidak lain adalah menjadi gigolo. Mungkin orang menganggap aktifitas yang aku lakukan itu untuk mengeruk materi. Benar juga, sih. Karena untuk praktek short time saja, aku membandrol diri minimal Rp. 250 ribu untuk sekali kencan. Tapi itu bukan alasan utamaku mengingat kucuran dana dari orangtuaku sudah sangat lebih dari cukup. Yaa, have fun dan cari pengalaman saja, pikirku saat itu.
Setelah lama berpetualang di dunia gelap, aku dan teman-teman tertantang untuk menikmati sisi lain dunia itu yang katanya bukan hanya nikmat, tapi juga membawa keuntungan yang lumayan. Pilihanku tidak lain adalah menjadi gigolo. Mungkin orang menganggap aktifitas yang aku lakukan itu untuk mengeruk materi. Benar juga, sih. Karena untuk praktek short time saja, aku membandrol diri minimal Rp. 250 ribu untuk sekali kencan. Tapi itu bukan alasan utamaku mengingat kucuran dana dari orangtuaku sudah sangat lebih dari cukup. Yaa, have fun dan cari pengalaman saja, pikirku saat itu.
Setiap malam, aku habiskan untuk melayani para tante girang.
 Bahkan, sempat salah seorang pelangganku rela menelpon di saat aku 
sedang kuliah hanya demi memuaskan nafsu bejatnya. Dari mereka pula aku 
mendengarkan berbagai macam kisah pilu yang mereka alami. Menikah di 
usia muda akibat salah pergaulan, menikah hanya karena godaan harta, 
bahkan ada juga yang sempat digagahi oleh ayah kandungnya sendiri. Di 
satu kesempatan, aku sempat melayani nafsu bejat seorang tante dan anak 
perempuannya dalam satu sesi kencan, na’udzu billahi min dz?lik.
Hampir
 satu tahun aku terlibat di dunia gigolo, aku sudah bisa membeli sebuah 
mobil, rumah mewah, dan banyak lagi. Namun itu semua harus dibayar 
mahal. Satu hari, aku mendapati tubuhku kejang-kejang, flu berat, dan 
badan ini seolah tak bernyawa lagi. Aku lemas, dan terkulai di atas 
tempat tidur.
Hampir
 dua bulan aku di atas tempat tidur, tidak ada kemajuan yang aku dapati.
 Atas saran seorang pembantuku, akhirnya aku dibawa ke rumah sakit. 
Pukulan terburuk dalam kehidupanku akhirnya datang. Aku mengidap HIV! 
Aku tak percaya!, Alat kontrasepsi yang selalu aku kenakan, dan sangat 
aku percaya dapat menahan serangan virus itu ternyata palsu. Muncul 
dalam benakku, aku ingin mengakhiri hidup ini.
Bayangan
 orangtua di kampung sana, masa depan yang aku impi-impikan, semuanya 
sirna sudah. Suatu malam, aku sempat ingin mengakhiri hidup dengan 
menyayat nadi pergelanganku. Tapi pembantuku keburu mengetahuinya. 
“Istighfar. Istighfarlah, baru kena penyakit begitu saja sudah ingin 
bunuh diri. Tenang Mas, tenang. Allah yang mengatur hidup-mati 
seseorang”, begitu katanya.
Sempat
 satu kali aku bersusah payah datang ke kampus.
Namun, Semua teman dekat yang sangat aku percaya pergi menjauh dariku. Mereka mengejekku, “sampah, sampah, dan racun kehidupan”. Aku menangis, tak ada lagi orang yang mau mendekatiku. Aku mencari orang pintar yang mungkin dapat menyembuhkan penyakitku ini. Entahlah, sudah berapa banyak dukun yang aku temui. Tapi tetap saja, tidak ada kemajuan. Meskipun aku terus mencari solusi, tapi aku tetap tersudut. Aku pikir, tak lama lagi aku akan mati.
Namun, Semua teman dekat yang sangat aku percaya pergi menjauh dariku. Mereka mengejekku, “sampah, sampah, dan racun kehidupan”. Aku menangis, tak ada lagi orang yang mau mendekatiku. Aku mencari orang pintar yang mungkin dapat menyembuhkan penyakitku ini. Entahlah, sudah berapa banyak dukun yang aku temui. Tapi tetap saja, tidak ada kemajuan. Meskipun aku terus mencari solusi, tapi aku tetap tersudut. Aku pikir, tak lama lagi aku akan mati.
Hidayah yang datang dua kali
Berkat
 anjuran pembantuku, Pak Jamil, aku mulai mencoba memaksakan diri untuk 
sholat. Padahal, Al Fatihah saja aku sudah lupa. Pak Jamil mulai 
membimbingku, sedikit demi sedikit akhirnya aku bisa sholat. Bahkan 
akhirnya aku bisa menangisi diri ini yang sudah sangat jauh dari 
jalan-Nya.
Namun,
 aku mengenal Islam hanya baru sebatas ritual saja. Pandanganku terhadap
 dunia mistik, dukun, paranormal, dan kyai-kyai ‘pintar’ tetap tidak 
bisa hilang. Aku masih mencari seorang ahli yang bisa menyembuhkanku. 
Tapi tetap saja aku belum puas.
Di sebuah masjid di kawasan Depok, aku sempat membaca sebuah pamflet acara yang diadakan masjid tersebut. “ah.., kesempatan baik siapa tahu ustadz yang menjadi pembicara nanti bisa membantu”, begitu pikirku.
Akupun
 menghadirinya. Acara demi acara aku ikuti, tapi nggak ada yang nyangkut
 di kepalaku. Tiada Islam tanpa syari’at, Islam solusi kehidupan, “ah, apa pula itu? Kejauhan dan nggak nyambung dengan kebutuhanku..” Tapi
 demi mencari solusi bagi penyakitku, aku terus mengikuti acara itu 
sampai selesai. Dan alhamdulillah, di akhir acara aku berani juga 
mendekati dan menceritakan maksudku. Ustadz itu bisa mengerti, namun 
karena saatnya tidak tepat, aku tidak bisa bicara banyak. Kami pun 
akhirnya membuat janji untuk bertemu di suatu tempat dan meneruskan 
obrolan yang belum selesai.
Dari hasil obrolanku dengan ustadz tersebut, memang tidak ada solusi yang real bagi penyakitku. Tapi ada satu yang berbeda, dan itu mendasar dan selalu memancingku untuk terus berdiskusi dengannya.
Dari hasil obrolanku dengan ustadz tersebut, memang tidak ada solusi yang real bagi penyakitku. Tapi ada satu yang berbeda, dan itu mendasar dan selalu memancingku untuk terus berdiskusi dengannya.
“Janganlah kamu dekati zina, sesungguhnya zina itu perbuatan yang keji dan jalan yang buruk..”
ayat al-Qur’an itu selalu aku ingat dengan baik.
Zina memang perbuatan yang kejam dan jalan yang buruk. Aku telah membuktikannya.
Dan kini, aku sudah tidak memikirkan lagi sisa umur yang aku miliki. Keinginanku untuk menikah pun telah aku kubur dalam-dalam. Yang aku pikirkan kini adalah bagaimana sisa usia yang aku miliki, dapat aku manfaatkan sebaik-baiknya.?
Terus mengkaji Islam dan berbaris dalam barisan pemuda yang terus berupaya agar Islam kembali menjadi ideologi dunia dan menyatukan negeri Islam dalam naungan Khilafah Islam serta terus menyebarkan Islam dengan dakwah dan jihad. Semoga Allah mengampuni dosa-dosaku yang telah lalu. [seperti yang diceritakan Ekky kepada Munir]
 
 
 




 
 
 
 
 
 
 
 
 
 










